Thursday, August 16, 2007

17 Untuk Seorang Anak Baru Gede

Seorang anak perempuan baru gede belasan tahun berseragam putih putih kedodoran berlari tergopoh-gopoh masuk ke lapangan. Di kepalanya bertengger peci hitam dengan pin pancasila tersemat di sisi kanan peci hitamnya yang juga terlihat kebesaran. Dadanya membuncah ketika matanya memandang sekeliling lapangan luas. Sudah ada beberapa temannya sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing.

“Wi, ini tata urut pelaksanaan upacara yang akan kau baca,” ujar seorang anak laki-laki dengan rambut cepak yang sudah tampak gaya kepemimpinannya.

Si anak perempuan ABG itu menerima map yang disodorkan padanya dengan senang dan dibacanya urutan kegiatan yang akan dibacanya sebentar lagi. Setelah beberapa saat dan merasa yakin kalau dia Insya Allah akan melaksanakan tugasnya dengan baik, didekatinya tiga teman sekelasnya yang sedang berdiri di depan tiang bendera.

“Aku gugup,” bisik Elda, salah seorang temannya yang bertubuh lebih tinggi darinya.

“Tenang saja, kau pasti bisa,” si anak perempuan ABG itu memberi semangat.

Lima menit berlalu, beberapa anak yang sedari tadi sibuk berlatih, kini berkumpul saling bergenggaman tangan.

“Berdo’a semoga kita bisa melaksanakan tugas kita dengan baik,” ujar si anak laki-laki brambut cepak.

Semua khusuk berdoa dengan hati mulai berdebar kencang karena waktu sudah semakin dekat.

Yah, hari ini mereka bertugas sebagai petugas upacara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Si anak perempuan baru gede itu mendapat tugas sebagai protokol / pembawa acara. Satu tugas yang dipercayakan oleh wali kelasnya yang membuatnya sangat bangga.

Si anak perempuan ABG itu berdoa tak henti-hentinya sampai waktu upacara pun tiba. Di depan pengeras suara, dia mulai mengeluarkan kalimat pertamanya.

“Tuhanku, bantu aku, semoga suaraku tidak terdengar gemetar dan hilangkan rasa gugup ini. Bismillahhhhh….” bisiknya lirih dalam do’a.

“UPACARA PERINGATAN HARI KEMERDEKAAN…..TANGGAL TUJUH BELAS AGUSTUS SERIBU SEMBILAN RATUS SEMBILAN PULUH…DIMULAI….”

Terdengar suara begitu lantang yang membuat hening sekelilingnya. Setelah kalimat pertama itu keluar dari bibirnya yang kecil, kalimat-kalimat berikutnya mengalir mulus.

“Alhamdulillahh….aku tidak gugup,” bisiknya pada diri sendiri. Dilihatnya map yang ada ditangannya. Hmm…sebentar lagi adalah Pembacaan UUD 1945.

Si anak perempuan itu bersiap-siap di depan pengeras suara.

“PEMBACAAN …”

Anak perempuan itu berhenti beberapa detik karena tersadar kalau pengeras suara tidak berfungsi alias mati. Otomatis suaranya tenggelam.

“Aku harus berseru lantang,” pikirnya cepat.

‘UNDANG-UNDANG DASAR 1945,” seru si anak perempuan itu dengan lantang, sangat lantang malah, cuma kalah tipis kelantangannya kalau ia di bicara di depan pengeras suara.

“Syukurlah,” lagi-lagi si anak perempuan itu bersyukur, Tuhan menganugerahi dia vocal yang keras.

Upacara pun berlangsung khusuk. Dari awal sampai akhir. Dari pengibaran sang saka merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, penghormatan pada bendera tercinta sampai menyanyikan lagu Syukur, semua terasa syahdu. Walau ada kecelakaan kecil, kerusakan di pengeras suara, semua berlangsung lancar.

“Alhamdulilllah, tugas kita berlangsung baik,” komentar anak laki-laki berambut cepak,” walau mikenya tadi rusak ya, maaf ya, Wi, tapi untung suaramu lantang juga..hehe..”

Semua tertawa. Anak perempuan itu ikut terkekeh geli. Sekarang tahulah dia kenapa dia dipilih menjadi protokol dalam setiap upacara bendera dan khusus hari ini, di hari peringatan kemerdekaan RI, yahh..karena suaranya lantang dan dia tidak pernah malu-malu mengakui kalau suaranya luar biasa kencangnya.

Setelah berhaha…hihi….anak perempuan itu pulang ke rumahnya bersama teman-temannya yang rumahnya berdekatan. Ingin dikabarinya secepat mungkin kejadian yang barusan dialaminya pada mama dan papanya yang tengah menunggunya di rumah.

“Nggak percuma kalau selama ini tukang jerit-jerit di rumah,” komentar mamanya sambil tertawa.

“Hahaha…” papanya ikut tertawa, “Sudah ini ayooo siaappp…siaapppppppp, kita nonton pawai karena chak dan temen-temen drumbandnya akan ikutan pawai.”

“Horreeeee……” si anak perempuan dan adik-adiknya bersorak gembira. Mereka akan menonton chak, panggilan untuk kakak perempuan mereka berpawai.

Kota Palembang, kota di mana anak perempuan itu lahir dan dibesarkan menjadi ramai dan dipadati dengan mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan. Beberapa kelompok dari berbagai sekolah tengah beratraksi di tengah-tengah jalan.

“Chak mana, pa?” tanya anak perempuan itu. Saat itu ia tengah duduk di atas atap mobil hijet sederhana warna putih metalik. Kepalanya menjulur mencari-cari chaknya.

“Sebentar lagi,” hibur papanya sambil mengusap peluhnya. Yahh….matahari masih terasa menyengat.

“Chen…pakai payung,” mamanya memanggil dari dalam mobil dan menjulurkan payung besar dari balik jendela. Mamanya tidak mau ikut naik ke atas mobil dan lebih memilih bernaung di dalam mobil walau tetap panas karena tanpa AC.

Dengan payung besar dari mamanya, semua cukup terlindung dari panas yang menyengat itu. Kedua adik laki-lakinya yang tengah memainkan kapal-kapalan dari gabus dengan telor merah menghiasinya ikut-ikutan merapatkan badannya demi bisa bernaung di bawah payung.

“Itu Chak!” seru papanya.

Tampak di tengah jalan, di bawah mereka, serombongan anak-anak drumb band berpakaian warna kuning dan hijau tengah berbaris dan memainkan musik. Chak mereka hanya memainkan seruling dan melambaikan tangan pada mereka ketika si anak perempuan itu berteriak lantang memanggil Chak mereka.

Setelah rombongan Chak mereka berlalu, giliran mobil-mobil, becak, sepeda motor yang dihiasi dengan kertas warna-warni. Para penumpang di dalamnya melambai-laimbaikan tangan pada penonton. Si anak perempuan itu ikut melambaikan tangannya dengan gembira.

“Kita pulang yuk, acaranya hampir selesai, katanya sore mau lihat bidar?” ajak papanya, “apa lagi sekarang kita mesti jemput Chak dulu.”

Anak perempuan itu dan adik-adiknya mengangguk. Dia menatap senang pada papanya. Wah…papa akan mengajak nonton bidar juga? Bidar itu pertunjukan perahu-perahu yang juga telah dihiasi bendera merah putih dan berlomba menyusuri sungai Musi. Orang-orang bisa nonton di tepi sungai atau dari atas jembatan ampera yang membelah di atas sungai Musi.

“Papa, kenapa tujuh belas Agustus tidak tiap hari ya?” tanya adik laki-lakinya yang masih kecil, tujuh tahun umurnya.

“Karena tanggal 17 Agustus kan cuma satu hari,” anak perempuan itu yang menjawab sambil mencubit pipi adiknya yang lucu.

“Kenapa mesti tanggal 17 Agustus,” tanya adiknya lagi.

“Karena pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara kita, Indonesia, merdeka,” papanya yang menjelaskan. Setelah itu meluncurlah kisah papanya tentang perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan.

Si anak kecil termenung. Betapa bahagianya ia hidup di zaman telah merdeka. Dia bisa sekolah, bisa menjadi petugas upacara, bisa menonton pawai bersama papa, mama dan adik-adiknya, bisa menonton Chaknya bermain seruling dalam pakaian kuning hijaunya dari atas mobil Hijet sederhana papanya, bisa nonton bidar dari atas jembatan Ampera dan bisa melihat bendera merah putih berkibar di udara tanpa rasa takut.

“Papa untung kita merdeka ya,” ujar si anak perempuan itu.

“Alhamdulillah, kita mesti bersyukur pada Allah dan selalu mengingat jasa para pahlawan. Jangan lupakan itu dan jadilah anak bangsa yang pandai berterima kasih,” sekali ini sang papa berkata tegas.

Anak kecil itu mengangguk. Selalu mengangguk setiap ingat ucapan dan nasihat papanya. Sampai kini. Walau si anak kecil itu sudah dewasa, memiliki generasi baru yang kelak akan ia nasihati seperti papanya dulu menasihatinya, walau kini sang papa telah tiada, namun nasihat sang papa tentang syukur pada Allah karena terlahir dalam Negara merdeka dan menjadi anak bangsa yang pandai berterima kasih akan selalu diingatnya. Ingatan yang akan terus dikenang seperti kenangan ketika ia memakai baju putih-putih kedodoran dan menjadi protokol dalam upacara bendera, kenangan bersama papanya menonton pawai dari atas mobil, kenangan menonton bidar dari atas jembatan Ampera dan kenangan-kenangan indah lainnya.

Dan…tahukah kalian, siapa anak perempuan kecil bersuara lantang itu. Yahh anak kecil itu adalah aku.

“Tuhan…terima kasih untuk kemerdekaan yang telah kau limpahkan pada kami, bangsa Indonesia. Semoga kami selalu menjadi bangsa yang bersyukur dan tahu bagaimana mengisi kemerdekaan ini sebagai rasa terima kasih yang tak akan terbalas untuk para pahlawan yang telah berjuang merebut kemerdekaan.

Selamat hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI.
17 Agustus 1945
17 Agustus 2007

6 comments:

yaya said...

Mbak tulisannya bagus...

Anonymous said...

duh, jadi ingat masa muda dulu hehe. makasih ya chen


-maknyak-
http://serambirumahkita.blogspot.com

Anonymous said...

Kadang suka iri sama orang2 yang bisa menikmati hari2 tujuh belasan di masa sekolah...
Masalahnya, aku dulu termasuk murid yang suka ngabur dari skul pas upacara. Kalo gak ngabur yaa kesiangan, hihihi...
Yang menyenangkan dari 17an justru lomba2nya ;)

dewicendika said...

tq ya Ya, Maknyak, Pritha dah ke sini :)

dewicendika said...

tq buat semuaaa

Anonymous said...

permisi...
bu juri numpang lewat. :)

merdeka!