Friday, January 26, 2007

Yuk Bergengaman Tangan

Oleh : Dewi Cendika ZR

“Kamu hamil, sayang,” bisik suamiku ketika melihat hasil test kehamilanku ketika itu. Tentu saja aku bahagia sekali. Aku akan menjadi seorang ibu, bisikku dalam hati. Ini kehamilan pertama, dan...oh....tahukah kalian, apa yang aku rasa saat itu? Sungguh.....aku takut. Berbagai perasaan khawatir pun merayapi hatiku. Aku takut bagaimana kehamilanku nanti berjalan, aku cemas membayangkan proses persalinan kelak yang katanya sakit....sekali dan aku khawatir apakah aku akan mampu menjadi seorang ibu yang baik?

Tapi untunglah ada suami yang selalu memberikan dukungan dan bisikan semangat untukku. Dia lah yang menjadi tempat bagiku berkeluh kesah tentang kekhawatiranku, menguatkan hati dan keyakinanku, menyempatkan diri untuk membelikan buku-buku tentang kehamilan yang membuatku mengerti tentang berbagai hal apa yang baik dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika hamil, menempelkan kertas di lemari es tentang makanan apa saja yang baik dan yang tidak diperbolehkan untuk seorang wanita hamil sehingga tentu saja... aku bisa mengendalikan diri dalam urusan perut, hehe...

Suami memang orang yang paling berperan untukku ketika aku hamil. Dia pula yang mencatat jadwal kunjungan kami ke dokter sehingga tak sekalipun kami lupa kapan waktunya chek up. Dan ketika aku harus test darah, suami juga lah yang menguatkan dan memegang tanganku. Tentu saja karena karena......aku buka rahasiaku yaa.... aku takut sekali dengan jarum suntik. Tapi pelukan suami memberikan ketenangan untukku. ;) Yah.... betapa bahagianya aku memiliki teman berbagi yang sangat mengerti aku.

Pada bulan-bulan pertama kehamilanku, sepertinya ada-ada saja yang aku inginkan. Teman-temanku bilang itu artinya aku mengidam. Hmm....aku ingat sekali betapa suamiku harus mencari-cari makanan yang aku pesan dan dia tidak pernah mengeluh. Justru raut muka yang kutangkap adalah muka yang selalu terlihat senang dan tampak menggodaku ketika makanan yang aku inginkan berhasil dibawanya ke rumah. Sungguh menyenangkan menikmati makanan ketika makanan itu sudah sangat kita idamkan namun terasa jauh lebih nikmat karena yang membelikannya adalah suami tercinta.

Memang selalu ada saja yang aku lakukan yang kadang membuat repot suamiku. Tidak hanya membuatnya kelimpungan mencari makanan yang aku idamkan tapi juga harus mentolerir dan mengerti dengan sikapku yang menjadi lebih manja dan kolokan ditambah sifatku yang memang gampang sekali ngambek dari sononya. Bila suamiku melakukan hal yang sedikit saja yang aku tidak berkenan, pastilah aku langsung ngambek dan marah. Biasanya suamiku lah yang mengalah dan diam saja ketika aku marah. Walaupun kemudian pastilah aku menyesal dan meminta maaf pada suamiku.

Satu kali rupanya suamiku sedang tidak enak hatinya. Kami bertengkar hanya karena masalah yang sangat sepele. Hari Sabtu, seperti hari Sabtu-sabtu biasanya, selalu kami isi dengan jalan-jalan. Tapi satu Sabtu itu, suamiku bilang padaku kalau hari itu lebih baik kami di rumah saja, apa lagi kandunganku masih sangat muda. Tapi dasar aku yang sangat sensitif, malah menjadi emosi. Aku bilang kalau suamiku tega sekali karena tidak mau menemani aku yang kepingin sekali makan di luar. Aku ngambek dan bilang padanya kalau dia sungguh tidak mengerti betapa gerahnya aku di rumah. Suamiku yang biasanya mengalah kali itu cuma mendiamkan aku. Ketika aku tambah mengomel suamiku balik marah padaku.

Tentu saja aku kaget dan menangis. Tak pernah aku mengalami hal ini. Aku ngambek dan mengurung diri di kamar. Aku kesal sekali. Sambil menangis aku tumpahkan semua amarahku di kamar. Tiba-tiba aku malu pada diriku sendiri. Kenapa aku begitu egois. Mentang-mentang hamil lalu bisa seenaknya pada suami? Oh...oh....aku telah salah dan sangat tega selama ini. Suamiku begitu baik padaku tapi aku malah marah-marah. Terpikir olehku mungkin suamiku capek hari ini tapi aku tidak bisa mengerti dirinya. Padahal dia begitu mengerti aku. Sungguh aku menyesal dan ingin minta maaf padanya.

Tapi sebelum aku keluar kamar, suamiku telah masuk kamar terlebih dahulu. Dia memelukku dan meminta maaf telah marah padaku. Aku tak bisa menahan diri lagi, kupeluk suamiku dengan menangis sesenggukan. Betapa baiknya dia, pun di saat aku yang telah merepotkannya, yang telah tega dan tak mengerti dirinya, dialah yang mengambil sikap untuk mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu padaku. Aku bisikkan padanya, betapa aku sangat mencintainya.

Ketika kandunganku memasuki bulan ketiga aku mendapat khabar dari keluargaku di Palembang kalau ayahku sakit. Aku pulang dengan hati yang sangat sedih. Aku tak kuasa manahan pilu mendapati ayah yang tak sempat melihat cucunya lahir. Kepergiannya tak urung membuat hatiku patah dan asaku menguap.

Suamilah yang selalu menghibur hatiku. Memberi nasihat dan menyadari aku kalau aku tidak boleh larut dalam kesedihan yang panjang. Suami membisiku, ada seseorang yang menunggu dilahirkan dari seorang bunda yang tidak kenal putus asa. Suamiku menguatkan aku dengan semangat dengan kata-kata :Yakinlah, kau pasti bisa! Dan aku sadar aku memang harus bisa dan mampu. Bukankah ada kelurga terutama suami tercinta, seorang teman terbaik yang siap berbagi cerita, suka dan duka. Aku memang tidak sendiri, ada seseorang yang berjalan di sisiku, menggandeng tanganku dan saling memberi kekuatan.

Hari-hari selanjutnya, banyak hal yang kami lakukan sambil menunggu kelahiran sang buah hati. Menyenangkan sekali ketika membeli perlengkapan bayi seperti baju-baju mungil, kosmetik bayi, dot-dot beraneka bentuk dan sebagainya. Semua aku lakukan berdua suami yang lebih banyak mengalah bila terdapat perbedaan pendapat. Hehe..maklumlah kadang ibu-ibu memang lebih cerewet ya, apa lagi soal harga.

Sampai akhirnya waktu melahirkan tiba. Oh...sungguh ngeri membayangkan proses melahirkan itu. Apa lagi aku sering membaca tulisan teman-teman di sebuah mailing list tentang kehamilan, kalau melahirkan itu ”cukup” menyakitkan. Hoho....ngebayangin jarum suntik dan sakit perut yang katanya tak terlukiskan itu membuatku ketakutan.

Lagi-lagi suami lah yang menenangkan aku dan memberi semangat. Suamiku berjanji padaku kalau dia akan menemani aku dalam kamar bersalin. Dan ketika aku melahirkan, aku rasakan hadirnya suami dan ibu di sebelah kiri dan kananku memberikan kekuatan tersendiri untukku. Ketakutanku hilang. Genggaman tangan suami dan pelukannya di bahuku seperti mengalirkan kekuatan yang teramat besar untukku.
Akhirnya setelah tiga jam dalam kamar bersalin, anakku tercinta lahir dengan sehat dan selamat. Raut muka mungil dan suara tangisnya membuatku menangis bahagia. Kucium putri mungilku yang cantik jelita. Hatiku haru dalam bahagia yang sangat dalam.

Hari-hari selanjutnya benar-benar hari-hari yang indah. Berdua suami, kami berusaha memberikan yang terbaik untuk putri mungil kami. Capek memang ketika harus bergadang malam hari ditambah nggak bisa tidur besok paginya karena si kecil kadang susah tidur dan rewel bila malam hari. Tapi untung ada suami yang benar-benar adalah ayah yang sangaaaaat baik untuk anak kami. Bila aku tertidur karena kecapekan, suamilah yang selalu membuatkan susu, menggendong dan menina bobokan malaikat kecil kami. Suami memang adalah ayah siaga ;)

Sekarang sang buah hati udah empat belas bulan. Tambah manja sama aku terutama pada ayahnya. Sering membuatku cemburu karena ayahnya lebih sering mencium dan memeluk bidadari kecil kami itu. Selalu membuatku tertawa bila sudah main kuda-kudaan di punggung ayahnya. Selalu membuatku haru bila malaikat kecilku dan ayahnya mencium pipiku untuk membangunkan aku yang masih tertidur padahal matahari sudah tidak malu-malu lagi mengintip di balik awan ;)

Terima kasih Tuhan, Kau anugerahkan bidadari cantik pada kami. Akan kulakukan yang terbaik untuknya dan kulimpahi kasih dan cinta padanya. Dan sungguh....terima kasihku pada MU Tuhan, telah kau hadirkan seorang lelaki baik yang mencintaiku dan aku cintai untuk menemani hidupku membentuk keluarga yang sakinah.

Tulisan ini kupersembahkan untuk suamiku tercinta.. Seperti katamu, mari kita berjalan bersisian dan bergenggaman tangan untuk berbagi dan saling memberi kekuatan. Amin.
Ichen ZR

No comments: