Tuesday, January 30, 2007

Putus Asa....Nggak Lah yaa!!!

oleh : DEWI CENDIKA ZR

Ada seorang sahabat yang darinya aku belajar tentang ketabahan dan kesabaran. Namanya Ita, dia teman sekelasku ketika di SMA dulu. Pesahabatan kami tetap terjalin sampai kami selesai SMU. Ketika kami meneruskan di bangku kuliah, kami tetap sering bertemu karena letak rumah kami yang memang tidak berjauhan.. Ita diterima di Akademi Gizi dan aku menjadi mahasiswi di Fakultas Hukum di Universitas Negeri di kota kami. Tentu saja disiplin ilmu yang berbeda, tapi itu tidak menjadi penghalang kami untuk terus belajar bersama, mencari buku bersama di perpustakaan dan mendiskusikannya di rumah.

Karena masa pendidikan di Akademi Gizi hanya tiga tahun, Ita lebih dahulu diwisuda dan mencari pekerjaan yang diimpikannya. Ketika itu aku sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk skripsiku. Aku turut mencari informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Sampai akhirnya dia diterima menjadi tenaga honor di puskesmas di satu kabupaten. Kehilangan? Tentu saja, tapi rutinitas yang padat benar-benar telah menyita waktuku. Aku pun bertekad ingin lulus dengan IPK yang tinggi.

Usaha tak pernah ada yang sia-sia. Aku berhasil lulus dengan IPK 3,38. Bahagia? Pasti! Tapi beban dan tantangan telah membayang dibenakku. Banyak lamaran aku kirim, dan test-test di beberapa Perusahaan aku jalani dengan penuh harapan. Aku memang sering pindah-pindah kerja, karena kupikir aku masih muda, masih harus mencari pengalaman dan pelajaran yang tak henti-hentinya.

Akhirnya setelah penantian yang panjang, aku diterima di salah satu Instansi Pemerintah di Jakarta, di bagian Hukum yang sesuai dengan disiplin ilmuku. Sebenarnya ketika itu aku masih bekerja sebagai Marketing Executive di satu Biro Perjalanan. Tapi kesempatan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dan bekerja yang sesuai dengan disiplin ilmu yang aku tekuni sungguh tak bisa aku lewatkan.
Dalam kebahagiaanku itulah ternyata Ita sedang dalam kesedihan. Masa kerjanya di Puskesmas itu telah habis, dan Ita juga ingin mencoba mencari peluang kerja yang lebih baik. Memang sulit mencari pekerjaan di zaman susah begini. Tapi aku terus menyemangatinya. Ita memang tabah, dia memelukku untuk meyakinkan padaku kalau dia pun selalu tetap semangat.
“Aku tetap semangat kok,” katanya, “aku yakin suatu hari nanti aku pun bisa kerja di tempat yang aku impikan.”
Aku memandang Ita dengan lega bercampur rasa kagum menyelimuti hatiku.
Kebetulan di rumah, adikku membuka usaha rental computer. Ketika aku bilang padanya aku mencari orang untuk ikut mengelola rental kami, Ita menawarkan dirinya. Untuk belajar, katanya. Dengan senang hati aku menerimanya. Berdua dengan Udin, tetanggaku, mereka mengelola rental computer kami dengan sungguh-sungguh. Hasilnya walau tak seberapa, tapi rental komputerku akhirnya menjadi tempat teman-teman dan saudara-saudaraku mangkal untuk berbagi informasi lowongan kerja dan berdiskusi tentang apa saja.

Cuma dua bulan aku menemani mereka di rental, karena kemudian aku harus segera ke Jakarta untuk mulai bekerja di kantor ku yang baru. Berat rasanya ketika harus melangkahkan kaki memulai pengalaman baru di Jakarta dan meninggalkan kotaku dan semua keluarga dan teman-temanku tercinta.

Malam ketika aku harus berangkat, Ita menginap di rumahku. Kami bercerita dan berdiskusi berbagai hal. Ketika aku mengatakan kalau aku berat sekali harus berangkat besok harinya, Ita menasihatiku kalau aku harus maju dan tidak boleh berpikir macam-macam karena hanya akan memberatkan langkah dan pikiranku.
“Bersyukurlah untuk cita-citamu yang tercapai,” kata Ita tegas,”aku berdo’a untuk kesuksesanmu, ya Cen!”

Aku menitikkan air mata terharu. Oh….Ita, seharusnya di saat seperti ini, aku lah yang menguatkan dirimu dan berdo’a untuk impian yang selalu menari-nari di ruang pikirmu.

“Aku pun berdo’a untuk kamu, ya Ta,” kataku, “aku yakin suatu hari nanti, impian indahmu pasti terwujud!”
Hari-hari selanjutnya, melalui SMS dan telephonelah, aku dan Ita selalu berhubungan. Ita banyak sekali bercerita lewat SMS. Wahhh….sepertinya memang tetap semangat. Ita katakana padaku kalau dia senang sekali mengelola rental computer kami. Aku percaya walau aku tahu Ita selalu menyimpan harapan untuk bekerja di tempat yang lebih pantas.

Dua tahun telah berlalu. Aku telah mencintai pekerjaanku ini. Dan Ita ternyata masih tetap menjadi pengelola rental kami. Udin sudah diterima di salah satu Bank Pemerintah di kota ku.

“Sepertinya aku harus menjadi karyawan tetap rental ini ya?” kata Ita bercanda padaku. Saat itu aku sedang pulang ke kotaku dan kami pun asyik bercerita di rental computer kami.

“Tapi jari-jarimu nggak keriting kan, ngetik terus ?” aku membalas candanya.
Kami pun tertawa bersama. Indah sekali memang hidup ini, kalau kita tidak pernah mencemaskan apa pun yang terjadi. Hari itu Ita juga bercerita banyak tentang semua test penerimaan pegawai yang diikutinya. Aku senang Ita selalu tabah dan sabar dalam mencari pekerjaan.

“Kau pasti bisa,” kataku padanya.

“Tentu dong….Ita!” katanya ceria dan memang selalu cerita.

Sampai penghujung tahun 2004, artinya tiga tahun setelah aku kerja di Jakarta , Ita masih setia di rental kami. Di dalam pengelolaan Ita, rental kami sangat berkembang. Orang tua dan saudara-saudaraku selalu memujinya dan sangat bersyukur karena orang seperti Ita yang mengelola rental kami.

Bulan November 2004, aku menikah. Ita tetap menjadi sahabat yang selalu mendukungku, menemani dalam setiap galauku ketika ada kecemasanku tentang pernikahan. Bahagia rasanya, ada seorang sahabat yang baik yang setia menemani dan bisa berbagi di saat kita membutuhkan. Seperti aku saat itu ketika menghadapkan saat-saat melepas masa lajangku.

Ita membisikiku kalau aku harus bersyukur pada Tuhan untuk segala kebahagiaan yang diberikan Tuhan padaku. Ita pun berharap semoga Ita juga bisa seperti aku, bekerja dan mendapat suami yang baik. Aku memeluknya dan berdo’a untuknya.
Do’a yang tak henti-hentinya dan usaha yang tanpa kenal lelah selalu mendapat hasilnya. Tuhan selalu mencatat setiap langkah kita, dan pada akhirnya akan memberikan yang terbaik pada saat yang tepat. Itulah kenyataannya.
Rasanya haru sekali ketika aku mendapat telephone dari Ita, bulan Januari 2005, dua bulan setelah aku kembali ke Jakarta setelah pernikahanku.

“Aku lulus cen…..aku lulus……”demikian aku mendengar suara dan pekikan gembira Ita di telepon.

“Alhamdulillah…..”suaraku serak menahan haru. Sungguh…kebahagiaan Itha pun dapat aku rasakan. “Terima kasih, Tuhan.”

Ternyata Ita diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan di satu Kabupaten. Aku ucapkan selamat dengan berlinang air mata. Gembira aku mendengarnya.

Setelah Ita menutup telephone aku terpekur. Allah Maha Kuasa, Cuma Dia yang tahu rahasia umat-Nya. Betapa pun kerasnya tantangan hidup ini, asal kita yakin dan terus berjuang semua akan ada jalan keluarnya. Karena ada Dia, Tuhan Yang Maha Segalanya.

Untuk sahabatku : Susi Herlita, sukses untukmu!
Ichen ZR

1 comment:

Iman Brotoseno said...

nggak ada yang tahu rahasia yang digariskan Tuhan,..sangat misterius