Tuesday, January 30, 2007

Putus Asa....Nggak Lah yaa!!!

oleh : DEWI CENDIKA ZR

Ada seorang sahabat yang darinya aku belajar tentang ketabahan dan kesabaran. Namanya Ita, dia teman sekelasku ketika di SMA dulu. Pesahabatan kami tetap terjalin sampai kami selesai SMU. Ketika kami meneruskan di bangku kuliah, kami tetap sering bertemu karena letak rumah kami yang memang tidak berjauhan.. Ita diterima di Akademi Gizi dan aku menjadi mahasiswi di Fakultas Hukum di Universitas Negeri di kota kami. Tentu saja disiplin ilmu yang berbeda, tapi itu tidak menjadi penghalang kami untuk terus belajar bersama, mencari buku bersama di perpustakaan dan mendiskusikannya di rumah.

Karena masa pendidikan di Akademi Gizi hanya tiga tahun, Ita lebih dahulu diwisuda dan mencari pekerjaan yang diimpikannya. Ketika itu aku sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk skripsiku. Aku turut mencari informasi lowongan kerja yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Sampai akhirnya dia diterima menjadi tenaga honor di puskesmas di satu kabupaten. Kehilangan? Tentu saja, tapi rutinitas yang padat benar-benar telah menyita waktuku. Aku pun bertekad ingin lulus dengan IPK yang tinggi.

Usaha tak pernah ada yang sia-sia. Aku berhasil lulus dengan IPK 3,38. Bahagia? Pasti! Tapi beban dan tantangan telah membayang dibenakku. Banyak lamaran aku kirim, dan test-test di beberapa Perusahaan aku jalani dengan penuh harapan. Aku memang sering pindah-pindah kerja, karena kupikir aku masih muda, masih harus mencari pengalaman dan pelajaran yang tak henti-hentinya.

Akhirnya setelah penantian yang panjang, aku diterima di salah satu Instansi Pemerintah di Jakarta, di bagian Hukum yang sesuai dengan disiplin ilmuku. Sebenarnya ketika itu aku masih bekerja sebagai Marketing Executive di satu Biro Perjalanan. Tapi kesempatan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dan bekerja yang sesuai dengan disiplin ilmu yang aku tekuni sungguh tak bisa aku lewatkan.
Dalam kebahagiaanku itulah ternyata Ita sedang dalam kesedihan. Masa kerjanya di Puskesmas itu telah habis, dan Ita juga ingin mencoba mencari peluang kerja yang lebih baik. Memang sulit mencari pekerjaan di zaman susah begini. Tapi aku terus menyemangatinya. Ita memang tabah, dia memelukku untuk meyakinkan padaku kalau dia pun selalu tetap semangat.
“Aku tetap semangat kok,” katanya, “aku yakin suatu hari nanti aku pun bisa kerja di tempat yang aku impikan.”
Aku memandang Ita dengan lega bercampur rasa kagum menyelimuti hatiku.
Kebetulan di rumah, adikku membuka usaha rental computer. Ketika aku bilang padanya aku mencari orang untuk ikut mengelola rental kami, Ita menawarkan dirinya. Untuk belajar, katanya. Dengan senang hati aku menerimanya. Berdua dengan Udin, tetanggaku, mereka mengelola rental computer kami dengan sungguh-sungguh. Hasilnya walau tak seberapa, tapi rental komputerku akhirnya menjadi tempat teman-teman dan saudara-saudaraku mangkal untuk berbagi informasi lowongan kerja dan berdiskusi tentang apa saja.

Cuma dua bulan aku menemani mereka di rental, karena kemudian aku harus segera ke Jakarta untuk mulai bekerja di kantor ku yang baru. Berat rasanya ketika harus melangkahkan kaki memulai pengalaman baru di Jakarta dan meninggalkan kotaku dan semua keluarga dan teman-temanku tercinta.

Malam ketika aku harus berangkat, Ita menginap di rumahku. Kami bercerita dan berdiskusi berbagai hal. Ketika aku mengatakan kalau aku berat sekali harus berangkat besok harinya, Ita menasihatiku kalau aku harus maju dan tidak boleh berpikir macam-macam karena hanya akan memberatkan langkah dan pikiranku.
“Bersyukurlah untuk cita-citamu yang tercapai,” kata Ita tegas,”aku berdo’a untuk kesuksesanmu, ya Cen!”

Aku menitikkan air mata terharu. Oh….Ita, seharusnya di saat seperti ini, aku lah yang menguatkan dirimu dan berdo’a untuk impian yang selalu menari-nari di ruang pikirmu.

“Aku pun berdo’a untuk kamu, ya Ta,” kataku, “aku yakin suatu hari nanti, impian indahmu pasti terwujud!”
Hari-hari selanjutnya, melalui SMS dan telephonelah, aku dan Ita selalu berhubungan. Ita banyak sekali bercerita lewat SMS. Wahhh….sepertinya memang tetap semangat. Ita katakana padaku kalau dia senang sekali mengelola rental computer kami. Aku percaya walau aku tahu Ita selalu menyimpan harapan untuk bekerja di tempat yang lebih pantas.

Dua tahun telah berlalu. Aku telah mencintai pekerjaanku ini. Dan Ita ternyata masih tetap menjadi pengelola rental kami. Udin sudah diterima di salah satu Bank Pemerintah di kota ku.

“Sepertinya aku harus menjadi karyawan tetap rental ini ya?” kata Ita bercanda padaku. Saat itu aku sedang pulang ke kotaku dan kami pun asyik bercerita di rental computer kami.

“Tapi jari-jarimu nggak keriting kan, ngetik terus ?” aku membalas candanya.
Kami pun tertawa bersama. Indah sekali memang hidup ini, kalau kita tidak pernah mencemaskan apa pun yang terjadi. Hari itu Ita juga bercerita banyak tentang semua test penerimaan pegawai yang diikutinya. Aku senang Ita selalu tabah dan sabar dalam mencari pekerjaan.

“Kau pasti bisa,” kataku padanya.

“Tentu dong….Ita!” katanya ceria dan memang selalu cerita.

Sampai penghujung tahun 2004, artinya tiga tahun setelah aku kerja di Jakarta , Ita masih setia di rental kami. Di dalam pengelolaan Ita, rental kami sangat berkembang. Orang tua dan saudara-saudaraku selalu memujinya dan sangat bersyukur karena orang seperti Ita yang mengelola rental kami.

Bulan November 2004, aku menikah. Ita tetap menjadi sahabat yang selalu mendukungku, menemani dalam setiap galauku ketika ada kecemasanku tentang pernikahan. Bahagia rasanya, ada seorang sahabat yang baik yang setia menemani dan bisa berbagi di saat kita membutuhkan. Seperti aku saat itu ketika menghadapkan saat-saat melepas masa lajangku.

Ita membisikiku kalau aku harus bersyukur pada Tuhan untuk segala kebahagiaan yang diberikan Tuhan padaku. Ita pun berharap semoga Ita juga bisa seperti aku, bekerja dan mendapat suami yang baik. Aku memeluknya dan berdo’a untuknya.
Do’a yang tak henti-hentinya dan usaha yang tanpa kenal lelah selalu mendapat hasilnya. Tuhan selalu mencatat setiap langkah kita, dan pada akhirnya akan memberikan yang terbaik pada saat yang tepat. Itulah kenyataannya.
Rasanya haru sekali ketika aku mendapat telephone dari Ita, bulan Januari 2005, dua bulan setelah aku kembali ke Jakarta setelah pernikahanku.

“Aku lulus cen…..aku lulus……”demikian aku mendengar suara dan pekikan gembira Ita di telepon.

“Alhamdulillah…..”suaraku serak menahan haru. Sungguh…kebahagiaan Itha pun dapat aku rasakan. “Terima kasih, Tuhan.”

Ternyata Ita diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan di satu Kabupaten. Aku ucapkan selamat dengan berlinang air mata. Gembira aku mendengarnya.

Setelah Ita menutup telephone aku terpekur. Allah Maha Kuasa, Cuma Dia yang tahu rahasia umat-Nya. Betapa pun kerasnya tantangan hidup ini, asal kita yakin dan terus berjuang semua akan ada jalan keluarnya. Karena ada Dia, Tuhan Yang Maha Segalanya.

Untuk sahabatku : Susi Herlita, sukses untukmu!
Ichen ZR

Monday, January 29, 2007

YAKINLAH, KAU PASTI BISA!

(Alhamdulillah, tulisan ini masuk dalam rencana pembuatan buku ketiga SK)

Oleh : Dewi Cendika ZR

Dulu sekali, seorang teman pernah datang ke rumahku sambil berlinang air mata. Tentu saja aku bingung dan tak tahu harus bagaimana karena ketika itu aku pun masih kecil, baru duduk di bangku Sekolah Dasar. Untung ada ibu yang bertanya dan menasihatinya. Temanku mengatakan kalau dia sedih sekali karena tidak diizinkan ibunya untuk mengikuti les vocal di sekolahnya. Alasannya, karena menurut ibunya, suara temanku tidak merdu sehingga tidak perlu membuang uang dan waktu hanya untuk latihan vocal.

Saat itu aku cuma tertawa saja mendengar alasan yang lucu menurutku. Tapi ibu dengan lembutnya berjanji akan mencoba membicarakan keinginan temanku ini dengan ibunya. Aku memandang ibuku, bangga dan bahagia karena ibuku tidak pernah melarang aku untuk ikut kegiatan apa pun yang aku suka. Tentu saja untuk kegiatan yang baik dan bermanfaat.

Orang tuaku memang selalu mendukung dan memberi semangat setiap impianku. Ketika masih di bangku Taman Kanak-kanak, aku termasuk anak yang cukup nakal dan aktif. Bajuku selalu kotor setiap aku pulang sekolah. Apa lagi saat aku dan teman-temanku sedang keranjingan bermain tanah liat. Tanah liat itu kami bentuk menjadi piring, gelas, vas bunga, dan apapun sesuai yang ada di dalam imajinasi kami. Bila anak-anak lain dimarahi orang tuanya karena bermain tanah sebab mengotori pakaian mereka, ibu dan ayahku malah tersenyum melihat ulahku bahkan ayah membuatkan aku lemari susun dari kotak kardus untuk memajang hasil karyaku.

Ketika baru masuk sekolah Dasar, ibu memasukkan aku les mengaji di Masjid dekat rumahku. Suatu hari dalam rangka Nuzulul Qur’an, ada lomba MTQ untuk anak-anak seusiaku. Aku ingin ikut lomba tapi aku takut dan malu sekali tampil di depan umum. Ibu menciumiku dan berkata : Ibu Yakin, Kau Pasti Bisa. Dan aku pun berani.

Ketika aku sudah lebih besar, aku ingin sekali menjadi penyanyi. Padahal suaraku tidak merdu dan aku tidak bisa bernyanyi indah. Tapi ibu dan ayahku tidak pernah mengecilkan harapanku. Ketika aku menyampaikan keinginanku ingin jadi penyanyi, ibu dan ayah memberi kesempatan padaku untuk bergaya dan bernyanyi di depan mereka. Ibu bertepuk tangan dan memuji kalau suaraku bagus sekali. Ayah menantangku apakah aku berani bila menyanyi di depan para tamu dalam acara arisan keluarga yang akan diadakan di rumahku esok harinya. Ketika aku ragu dan malu, ayah dan ibu membisikiku : Yakinlah, Kau Pasti Bisa! Dan aku pun tertantang.

Setelah meranjak remaja aku sadar kalau aku tidak berbakat menyanyi. Suaraku fals dan aku tidak ingin lagi jadi penyanyi. Tapi aku punya cita-cita lain. Aku ingin jadi penari dan pelukis. Ayah pun mengizinkan aku untuk ikut les menari dan melukis di sekolah. Aku berusaha sungguh-sungguh dan sering memperagakan pelajaran menari di depan ibu dan memperlihatkan hasil lukisanku pada ayah. Ayah dan ibu memujiku kalau mereka bangga padaku dan akan senang sekali kalau aku terus belajar dan berkarya untuk terus memperbaiki kemampuanku. Dan aku pun berjanji untuk terus belajar. Ketika ada lomba melukis di sekolah aku ingin sekali ikut serta tapi sekali lagi aku ragu. Ayah dan ibu memelukku dan berkata : Yakinlah, Kau pasti Bisa! Dan aku pun berani ikut lomba walau tidak juara sama sekali.

Sampai aku duduk di bangku SMA, aku telah bisa menata apa keinginanku dan bagaimana kemampuanku. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan melukis dan menari. Aku tahu aku tidak berbakat menari karena lukisanku tidak indah dan tampak hidup. Dan aku tidak suka menari karena badanku ternyata tidak lentur dan luwes. Tapi aku punya impian lain. Aku ingin jadi penulis. Dan ayah mendukungku. Ayah memperbolehkan aku menggunakan mesin tik miliknya.

Dari sanalah hari-hariku selalu penuh imajinasi. Aku suka membuat puisi, artikel dan cerita pendek. Ayah adalah orang pertama yang membacanya. Menyenangkan sekali berdiskusi dengan ayah tentang ide menulis ditemani teh hangat dan makanan kecil yang dipersiapkan oleh ibu khusus untukku. Ayah menyemangati aku untuk memberanikan diri mengirim tulisan ke majalah dinding di sekolahku. Aku tertarik dan mencoba usul ayahku. Sungguh menyenangkan ketika setiap minggu selalu ada tulisanku yang muncul meskipun hanyalah pada sebuah majalah dinding sekolah. Ayah dan ibukulah yang terus memotivasi aku, merayakan bersama ketika aku menjadi juara menulis mading dan memberi semangat ketika akupun akhirnya menjadi redaktur majalah dinding di sekolahku.

Ketika akan masuk Perguruan Tinggi, ayah dan ibu memberikan kebebasan untukku menentukan fakultas mana yang aku ingini. Aku tertarik masuk Fakultas Hukum karena aku ingin menjadi Notaris atau pengacara seperti teman ayahku. Ayah dan ibu mendukung impianku. Tapi rasa khawatir menyergaapku, mampukah aku di fakultas hukum? Ayah dan ibu mengatakan Yakinlah, kau pasti bisa!

Yakinlah, kau pasti bisa! Kata-kata itulah yang selalu diucapkan ayah dan ibuku bila aku ragu dan takut. Kata-kata yang selalu tertanam di hatiku dan akan kupegang bila aku takut tenggelam dalam menentukan langkah hidupku. Kata-kata yang menyemangatiku setiap kali aku mengikuti test-test melamar kerja. Kata-kata yang menguatkan langkahku ketika aku diterima kerja di kota Jakarta dan harus meninggalkan kota tercintaku, Palembang, kota tempat aku menempa cita-citaku. Kata-kata yang mengingatkan aku ketika aku ragu memutuskan untuk menikah. Kata-kata yang menghiburku ketika dulu aku ragu apakah aku akan menjadi seorang istri dan ibu yang baik.

Yah, Yakinlah, kau pasti bisa! Kata-kata itu semoga kelak bermanfaat untuk anak-anakku nanti. AMIN.


Tulisan ini kupersembahkan untuk mama dan alm. papa,
terima kasih untuk setiap bisikan cinta dan pelukan erat
yang telah menguatkan setiap impianku.

Jakarta, Januari 2007
ICHEN ZR

Friday, January 26, 2007

Yuk Bergengaman Tangan

Oleh : Dewi Cendika ZR

“Kamu hamil, sayang,” bisik suamiku ketika melihat hasil test kehamilanku ketika itu. Tentu saja aku bahagia sekali. Aku akan menjadi seorang ibu, bisikku dalam hati. Ini kehamilan pertama, dan...oh....tahukah kalian, apa yang aku rasa saat itu? Sungguh.....aku takut. Berbagai perasaan khawatir pun merayapi hatiku. Aku takut bagaimana kehamilanku nanti berjalan, aku cemas membayangkan proses persalinan kelak yang katanya sakit....sekali dan aku khawatir apakah aku akan mampu menjadi seorang ibu yang baik?

Tapi untunglah ada suami yang selalu memberikan dukungan dan bisikan semangat untukku. Dia lah yang menjadi tempat bagiku berkeluh kesah tentang kekhawatiranku, menguatkan hati dan keyakinanku, menyempatkan diri untuk membelikan buku-buku tentang kehamilan yang membuatku mengerti tentang berbagai hal apa yang baik dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika hamil, menempelkan kertas di lemari es tentang makanan apa saja yang baik dan yang tidak diperbolehkan untuk seorang wanita hamil sehingga tentu saja... aku bisa mengendalikan diri dalam urusan perut, hehe...

Suami memang orang yang paling berperan untukku ketika aku hamil. Dia pula yang mencatat jadwal kunjungan kami ke dokter sehingga tak sekalipun kami lupa kapan waktunya chek up. Dan ketika aku harus test darah, suami juga lah yang menguatkan dan memegang tanganku. Tentu saja karena karena......aku buka rahasiaku yaa.... aku takut sekali dengan jarum suntik. Tapi pelukan suami memberikan ketenangan untukku. ;) Yah.... betapa bahagianya aku memiliki teman berbagi yang sangat mengerti aku.

Pada bulan-bulan pertama kehamilanku, sepertinya ada-ada saja yang aku inginkan. Teman-temanku bilang itu artinya aku mengidam. Hmm....aku ingat sekali betapa suamiku harus mencari-cari makanan yang aku pesan dan dia tidak pernah mengeluh. Justru raut muka yang kutangkap adalah muka yang selalu terlihat senang dan tampak menggodaku ketika makanan yang aku inginkan berhasil dibawanya ke rumah. Sungguh menyenangkan menikmati makanan ketika makanan itu sudah sangat kita idamkan namun terasa jauh lebih nikmat karena yang membelikannya adalah suami tercinta.

Memang selalu ada saja yang aku lakukan yang kadang membuat repot suamiku. Tidak hanya membuatnya kelimpungan mencari makanan yang aku idamkan tapi juga harus mentolerir dan mengerti dengan sikapku yang menjadi lebih manja dan kolokan ditambah sifatku yang memang gampang sekali ngambek dari sononya. Bila suamiku melakukan hal yang sedikit saja yang aku tidak berkenan, pastilah aku langsung ngambek dan marah. Biasanya suamiku lah yang mengalah dan diam saja ketika aku marah. Walaupun kemudian pastilah aku menyesal dan meminta maaf pada suamiku.

Satu kali rupanya suamiku sedang tidak enak hatinya. Kami bertengkar hanya karena masalah yang sangat sepele. Hari Sabtu, seperti hari Sabtu-sabtu biasanya, selalu kami isi dengan jalan-jalan. Tapi satu Sabtu itu, suamiku bilang padaku kalau hari itu lebih baik kami di rumah saja, apa lagi kandunganku masih sangat muda. Tapi dasar aku yang sangat sensitif, malah menjadi emosi. Aku bilang kalau suamiku tega sekali karena tidak mau menemani aku yang kepingin sekali makan di luar. Aku ngambek dan bilang padanya kalau dia sungguh tidak mengerti betapa gerahnya aku di rumah. Suamiku yang biasanya mengalah kali itu cuma mendiamkan aku. Ketika aku tambah mengomel suamiku balik marah padaku.

Tentu saja aku kaget dan menangis. Tak pernah aku mengalami hal ini. Aku ngambek dan mengurung diri di kamar. Aku kesal sekali. Sambil menangis aku tumpahkan semua amarahku di kamar. Tiba-tiba aku malu pada diriku sendiri. Kenapa aku begitu egois. Mentang-mentang hamil lalu bisa seenaknya pada suami? Oh...oh....aku telah salah dan sangat tega selama ini. Suamiku begitu baik padaku tapi aku malah marah-marah. Terpikir olehku mungkin suamiku capek hari ini tapi aku tidak bisa mengerti dirinya. Padahal dia begitu mengerti aku. Sungguh aku menyesal dan ingin minta maaf padanya.

Tapi sebelum aku keluar kamar, suamiku telah masuk kamar terlebih dahulu. Dia memelukku dan meminta maaf telah marah padaku. Aku tak bisa menahan diri lagi, kupeluk suamiku dengan menangis sesenggukan. Betapa baiknya dia, pun di saat aku yang telah merepotkannya, yang telah tega dan tak mengerti dirinya, dialah yang mengambil sikap untuk mengalah dan meminta maaf terlebih dahulu padaku. Aku bisikkan padanya, betapa aku sangat mencintainya.

Ketika kandunganku memasuki bulan ketiga aku mendapat khabar dari keluargaku di Palembang kalau ayahku sakit. Aku pulang dengan hati yang sangat sedih. Aku tak kuasa manahan pilu mendapati ayah yang tak sempat melihat cucunya lahir. Kepergiannya tak urung membuat hatiku patah dan asaku menguap.

Suamilah yang selalu menghibur hatiku. Memberi nasihat dan menyadari aku kalau aku tidak boleh larut dalam kesedihan yang panjang. Suami membisiku, ada seseorang yang menunggu dilahirkan dari seorang bunda yang tidak kenal putus asa. Suamiku menguatkan aku dengan semangat dengan kata-kata :Yakinlah, kau pasti bisa! Dan aku sadar aku memang harus bisa dan mampu. Bukankah ada kelurga terutama suami tercinta, seorang teman terbaik yang siap berbagi cerita, suka dan duka. Aku memang tidak sendiri, ada seseorang yang berjalan di sisiku, menggandeng tanganku dan saling memberi kekuatan.

Hari-hari selanjutnya, banyak hal yang kami lakukan sambil menunggu kelahiran sang buah hati. Menyenangkan sekali ketika membeli perlengkapan bayi seperti baju-baju mungil, kosmetik bayi, dot-dot beraneka bentuk dan sebagainya. Semua aku lakukan berdua suami yang lebih banyak mengalah bila terdapat perbedaan pendapat. Hehe..maklumlah kadang ibu-ibu memang lebih cerewet ya, apa lagi soal harga.

Sampai akhirnya waktu melahirkan tiba. Oh...sungguh ngeri membayangkan proses melahirkan itu. Apa lagi aku sering membaca tulisan teman-teman di sebuah mailing list tentang kehamilan, kalau melahirkan itu ”cukup” menyakitkan. Hoho....ngebayangin jarum suntik dan sakit perut yang katanya tak terlukiskan itu membuatku ketakutan.

Lagi-lagi suami lah yang menenangkan aku dan memberi semangat. Suamiku berjanji padaku kalau dia akan menemani aku dalam kamar bersalin. Dan ketika aku melahirkan, aku rasakan hadirnya suami dan ibu di sebelah kiri dan kananku memberikan kekuatan tersendiri untukku. Ketakutanku hilang. Genggaman tangan suami dan pelukannya di bahuku seperti mengalirkan kekuatan yang teramat besar untukku.
Akhirnya setelah tiga jam dalam kamar bersalin, anakku tercinta lahir dengan sehat dan selamat. Raut muka mungil dan suara tangisnya membuatku menangis bahagia. Kucium putri mungilku yang cantik jelita. Hatiku haru dalam bahagia yang sangat dalam.

Hari-hari selanjutnya benar-benar hari-hari yang indah. Berdua suami, kami berusaha memberikan yang terbaik untuk putri mungil kami. Capek memang ketika harus bergadang malam hari ditambah nggak bisa tidur besok paginya karena si kecil kadang susah tidur dan rewel bila malam hari. Tapi untung ada suami yang benar-benar adalah ayah yang sangaaaaat baik untuk anak kami. Bila aku tertidur karena kecapekan, suamilah yang selalu membuatkan susu, menggendong dan menina bobokan malaikat kecil kami. Suami memang adalah ayah siaga ;)

Sekarang sang buah hati udah empat belas bulan. Tambah manja sama aku terutama pada ayahnya. Sering membuatku cemburu karena ayahnya lebih sering mencium dan memeluk bidadari kecil kami itu. Selalu membuatku tertawa bila sudah main kuda-kudaan di punggung ayahnya. Selalu membuatku haru bila malaikat kecilku dan ayahnya mencium pipiku untuk membangunkan aku yang masih tertidur padahal matahari sudah tidak malu-malu lagi mengintip di balik awan ;)

Terima kasih Tuhan, Kau anugerahkan bidadari cantik pada kami. Akan kulakukan yang terbaik untuknya dan kulimpahi kasih dan cinta padanya. Dan sungguh....terima kasihku pada MU Tuhan, telah kau hadirkan seorang lelaki baik yang mencintaiku dan aku cintai untuk menemani hidupku membentuk keluarga yang sakinah.

Tulisan ini kupersembahkan untuk suamiku tercinta.. Seperti katamu, mari kita berjalan bersisian dan bergenggaman tangan untuk berbagi dan saling memberi kekuatan. Amin.
Ichen ZR

Ketika Langkah Kaki Terasa Berat Tanpa Ayah

KETIKA LANGKAH TERASA BERAT TANPA AYAH

Oleh : Dewi Cendika ZR


Ketika aku lulus kuliah tahun 1998, Ayah ku akan memasuki masa pensiun. Kata orang, bagi seorang laki-laki, pensiun menjadi momok yang menakutkan. Apa lagi Ayahku lumayan memiliki posisi di kantornya. Tapi apa yang dikatakan Ayah padaku? Ayah mengatakan padaku bahwa pada dasasrnya setiap pegawai di kantor mana pun, dia harus siap mengalami hal-hal seperti itu. Dan itu adalah hal yang biasa. Bukankah di mana pun kita berada, kita dapat berbuat lebih banyak dan berarti untuk orang lain.
Aku hanya diam mendengar kata-kata Ayah. Aku takut Ayah hanya menghiburku dan saudara-saudaraku. Tapi Ayah sepertinya sungguh-sungguh. Hari-hari pertama menikmati masa pensiun Ayah begitu menikmatinya.
Aku senang memang melihat ayah yang ceria. Apa lagi ayahku jadi tambah mesra dan romantis pada ibu. Ayah selalu menemani ibu ketika ibu masak di dapur dengan mengajak ibu ngobrol.
“Wah….ternyata punya banyak waktu begini asyik loh, Chen,” seloroh ayah padaku, “ayah jadi bisa pacaran terus sama ibu.
“Ih…ayah genit!” aku tertawa geli membalas gurauan Ayah.
Melihat muka ayah yang selalu menampakkan muka berseri-seri di depan kami, anak-anak ayah, ternyata mengalirkan suatu kekuatan tersendiri bagiku. Apa lagi saat itu aku pun kemudian terus bergumul dengan tantangan di depan ku. Tamat kuliah memang terasa banyak beban yang harus dihadapi. Aku tidak ingin jadi penangguran. Aku harus sukses, seperti Ayahku. Ayah dan Ibuku terus menyemangati dan mendo’akan aku untuk terus maju dan berjuang.
Di tengah kesibukanku, aku dikejutkan oleh Ayah. Satu malam, Ayah memanggilku dan saudara-saudaraku untuk minta masukan kami. Ayah memang selalu begitu, kami terbiasa untuk berdiskusi dan bertukar pendapat dalam segala hal. Ternyata Ayah diterima menjadi Dosen pengajar di Perguruan Tinggi swasta dan satu Sekolah Tinggi Ekonomi di kota kami.
Aku menatap Ayah kagum sekali. Ayah luar biasa. Tak kenal lelah dan memandang hidup ini selalu penuh harapan. Kami berlomba-lomba memberi pendapat, yang intinya Ayah harus maju terus. Aku bilang, satu saat nanti aku pun akan sepeti Ayah, bisa berbuat banyak di mana pun berada.
“Insya Allah, Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk mahluk-Nya,”Kata Ayah memelukku dan meyakinkanku.
Sebagai seorang dosen di dua tempat membuat waktu Ayah cukup padat. Lama-lama aku khawatir kalau Ayah jatuh sakit. Aku memang senang Ayah bekerja lagi, tapi tidak kalau itu membuat kesehatan Ayah menjadi buruk. Tapi Ayah meyakinkan aku kalau dengan bekerj, Ayah lebih bersemangat dan sehat.
Sampai aku di terima kerja di Jakarta , empat tahun kemudian, Ayah masih menjadi dosen, malah sekarang bertambah di satu Perguruan Tinggi lagi. Ketika aku menelepon ke rumah dan mencurahkan isi hatiku kalau aku kangen sekali pada Ayah dan Ibu, dan meminta Ayah dan Ibu mengunjungiku, Ayah selalu menjadwalkannya pada tanggal-tanggal Ayah tidak mengajar. Kadang aku kesal tapi kata-kata Ayah yang menasehatiku, kalau kita mengembang tanggung jawab, jangan sekali-kali kita menghianatinya selalu berbekas di hatiku.
Ayah. Aku begitu menyayanginya dan mengagumi kesungguhannya dalam menapaki hidup. Ayah yang mengajari kami, anak-anaknya untuk kerja keras, tak kenal lelah, dan tak henti-hentinya menengadahkan tangan, berdo’a kepada Tuhan YME. Ayah mengajarkan aku untuk bersaing yang sehat dalam hidup, pertemanan dan pekerjaan. Dan aku ingin seperti Ayah, bisa berbuat banyak dan berguna di mana pun kita berada.
Kini semua itu adalah kenangan yang memberikan berbagai rasa di hatiku. Rasa rindu yang begitu mendera yang selalu menyiksaku sekarang hingga menciptakan gumpalan-gumpalan harapan dan khayalan yang membumbung tinggi di ruang hatiku. Keinginan untuk bertemu dan bermanja-manja lagi dengannya. Dengan lelaki yang begitu kucinta, sosok yang senantiasa menjadi idolaku. Ayah.
Pedih. Rasa itulah yang menyentak alam sadarku. Memberikan sensasi pilu yang cukup membuat kristal-kristal bening berlomba mengalir di pipiku. Aku kembali terpekur menganggap inilah episode hidup yang begitu menyakitkan. Dan aku merasa sangat kehilangan. Berharap waktu kembali ke bulan-bulan dan tahun-tahun sebelum ayah pergi atau cuma hari terakhir, itu pun sudah cukup bagiku. Aku berandai-andai tapi waktu tak kan pernah berhenti bahkan mundur seperti khayalku.
Tanggal 23 April 2005. Yah...ayahku pergi untuk selamanya. Cuma dua belas jam aku memeluk ayah di rumah sakit dan berharap ayah sehat kembali. Walau ayah tak sadarkan diri akibat pendarahan di otak kecilnya tapi aku tetap membisikkan pada ayah tentang segala harapan yang ingin aku bagi dengan ayah. Aku ingatkan tentang kebahagiaan-kebahagiaan yang telah kami lalui. Sungguh aku yakin ayah bisa mendengarkan kata-kataku dan aku ingin ayah tahu kalau aku tidak mau kehilangan ayah. Tapi Tuhan berkehendak lain, ayah harus pergi menghadap-Nya dan kami sekeluarga tak kuasa menolak kepergian ayah.
Kehilangan? Rasa itu sungguh menyakitiku. Berhari-hari aku menangis. Pun sampai aku harus kembali ke Jakarta. Aku sesalkan, ayah pergi sebelum aku bisa berbuat banyak dan membalas jasa ayah yang tiada taranya. Lama memang aku terperangkap dalam kesedihan seperti tanpa batas. Sampai satu hari, seorang teman menasihatiku. Kata-kata yang dilontarkannya padaku begitu membuatku tersentak.
”Menurutmu, ketika kamu menangis, sebenarnya apa yang kau tangisi?” demikian dia menanyaiku.
Aku terpana dan melongo! Betapa bodohnya temanku ini! Tentu saja aku menangis karena sedih. Tidak tahukah dia betapa sakitnya hati ini ketika kita harus kehilangan orang yang sangat kita cintai? Kubalas pertanyaan ”bodohnya” itu dengan marah.
”Tentu saja aku menangisi ayahku!” sentakku kasar.
Temanku itu cuma tersenyum. Sepertinya dimatanya aku seperti anak kecil yang cengeng.
”Kau salah,” temanku mulai lagi menasihatiku, ”sadarkah kau, ketika kau menangis, sebenarnya yang kau tangisi itu adalah dirimu sendiri. Ayahmu tidak butuh kau tangisi. Dia sudah pergi dengan tenang dan tidak berharap kau terus menangis dan berduka panjang karenanya.”
Aku tergugu dalam air mata yang terus melesak, ”apa aku menangisi diriku sendiri, dalam arti mengasihani diri sendiri selama ini?” tanyaku.
”Kau sendiri yang tahu jawabannya,” ujar temanku itu dan berlalu meninggalkan aku yang tercenung masih dalam derai air mata.
Tiba-tiba aku menyadari apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku kehilangan semangat dan hanya menampakkan muka sedih yang panjang. Ahh...aku memang berkabung, tapi masa berkabung harus segera dilampaui dan aku memang harus siap menerima kenyataan ini. Oh....ternyata selama ini aku benar-benar menjadi wanita cengeng dan rapuh!
Lihatlah, aku salah selama ini. Aku kehilangan banyak hari hanya untuk menangis. Padahal aku tidak sendiri. Ada ibu yang harus selalu aku jaga dan yang sangat mencintaiku, yang untuknyalah aku pun harus kelihatan tegar, untuk memberikan semangat dan kekuatan padanya. Ada kakak dan adik-adikku tempat aku bercerita dan saling mendukung dan ada suami dan anakku tercinta yang membutuhkan kasih sayang, semangat dan perhatianku. Sungguh selama ini sku telah menyia-nyiakan waktu karena telah aku isi dengan ratapan. Aku mengerti kalau semua yang ada di dunia ini adalah Allah yang berkuasa mengaturnya.
Kini ketika rindu begitu mendera di hati, ketika langkah kaki terasa berat tanpa seorang ayah, aku menguatkan hatiku, aku tidak akan membiarkan tangisan tumpah atau khayalan yang tiada ujungnya. Tapi do’a yang senantiasa kupanjatkan pada Allah semoga Allah mengampuni salah dan dosa ayah, menempatkan ayaku dalam golongan orang beriman dan dibukakan pintu surga untuk Ayah. Amin.

Kenangan bersama ayah takkan terlupa selamanya, ayah adalah idola bagiku

ICHEN ZR